Memancing Ikan Di Kolam Emosi

MEMANCING IKAN DI KOLAM EMOSI
Datang dan ikut ngumpul bersama tiga orang itu, tampak seru percakapan mereka, sampai-sampai tidak menyadari aku sudah datang dan duduk.

Mereka duduk bertiga mengelilingi meja di depan sebuah warung yang tutup.

Di jam tertentu mereka mangkal di tempat ini bersama-sama, di sebuah tanah lapang yang dikelilingi bangunan sekolah.

Mereka bertiga berjualan dengan beda produk, Marhadi jual mainan anak, Rahmat pedagang cilok, dan Burhan jual pentol goreng.

Aku datang, duduk dan menyimak percakapan mereka, serius sekali, sampai gak menyapa ada orang baru duduk di sebelah mereka.

Percakapan mereka sih biasa, gak jauh-jauh dari bidang usaha mereka,  iya jualan mereka, apalagi.

Yaa.. meski kadang-kadang mereka juga ngomongin politik.

misalnya tentang kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat kecil, tapi gak begitu sering aku dengar, mungkin menurut mereka gak penting-penting amat.

Percakapan yang lebih penting menurut orang-orang seperti ini adalah apa-apa yang berhubungan dengan masalah ekonomi.

Lebih tepatnya masalah perut, istilah ekonomi masih terlalu tinggi dan aneh bagi mereka.

Pak Marhadi  mengeluh, "Belakangan ini, penjualan mainan anak  menurun terus, barang-barangku sampai kusam warnanya, lama gak laku, gak bisa kulakan lagi, sementara harga kebutuhan harian gak turun-turun".

"Sabar bro, bukan kamu aja yang begitu, rata-rata pedagang kecil kayak kita, saat ini memang terasa berat", Rahmat berusaha mendinginkan suasana hati si Marhadi, kemudian melanjutkan..

"Kamu masih enak, barang daganganmu gak bau, gak basi, meskipun berhari-hari gak laku..

Kalau daganganku umurnya cuma sehari, pagi-pagi sekali sudah siap untuk meracik dan memasak cilok, ntar siangan dijual keliling..

Eehh..tahu-tahu, denger kabar anakku jatuh di sekolahnya, dan harus dibawa ke rumah sakit.

Kutinggalkan semua daganganku, sukses dah, cilok sebanyak itu bakal dimakan sendiri, atau di bagikan ke tetangga". 

Si Burhan yang paling muda diantara mereka dan lebih banyak diam, ikutan menimpali,..

"Kalian ini kurang bersyukur, tiap hari ada penghasilan, masih juga mengeluh, syukuri apa yang ada, hidup ini adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik".

Mendengar itu aku berpikir sejenak, wah.. Burhan ini kayaknya mengutip lirik lagu  D'masiv deh..

Hidup adalah anugerah..,  gaul juga dia..dia banyak diam tadi, mungkin masih menyusun kalimat keren untuk bahan diskusi, ehh bener lirik lagu dia pake..hehe..

Dua temannya mencibir, sedikit jengkel karena Burhan jalan pikirannya berbeda arah dan sok bijak lagi, padahal mereka tahu satu sama lain.

Dalam keseharian mereka sering berkumpul, dan berjualan di area yang sama, jadi saling kenal dengan baik akan karakter diantara mereka.

Karena jengkelnya,  Marhadi dan Rahmat, seakan sepakat untuk ngerjain si Burhan oleh karena  gayanya yang sok bijak itu, ngerjain dalam arti memancing ikan di kolam emosi..hehe..

Marhadi memulai aksinya,..

"Tahu nggak kalian, yang jual pentol goreng di dekat pertigaan sebelah selatan itu, dagangannya ampun dah, rame banget, kulihat sendiri gak henti-hentinya orang beli,..

Pernah ngobrol sama penjualnya, katanya dari jam 9 pagi sampe jam 3 sore dia menghabiskan pentol goreng sebanyak 3 juta rupiah, gila nggak tuh".

Raut wajah Burhan mulai berubah, yang awalnya berseri menjadi sedikit memerah, entah itu perasaan gak suka, jengkel ataukah marah, sulit ditebak, sepertinya dia mulai terpancing.

Kemudian Rahmat memperkuat omongan Marhadi,..

"Iya aku juga denger itu, coba hitung, kalau sehari habis 3 juta, keuntungannya bisa 50 sampe 60 persen, itu sekitar 1,5 sampai 2 juta... perhari..

Gila bener dah, sementara kita babak belur hanya untuk menghabiskan dagangan sebanyak 400 ribu saja".

Dan bener saja  Burhan mulai terpancing, "Ahh..aku gak percaya itu,..

Mana mungkin sehari bisa menghabiskan pentol goreng sebanyak 3 juta, pasti dia bohong,..

Kalaupun bisa, pasti ada yang tidak wajar, bisa jadi dia pake pesugihan, pake dukun, jin dan lainnya, jaman sekarang apa sih yang tidak mungkin".

Napasnya memburu, bicaranya seperti buru-buru, itu pertanda marah, jengkel, fix..terpancing..

Tanpa dia sadar, tampak aslinya, sikap yang seakan  bijak, bisa jadi itu hanya pura-pura dan pemanis bibir saja.

Kompak Marhadi dan Rahmat tersenyum, kemudian tertawa berbarengan,..

 "Hahaha, hei..mana sikap kerenmu seperti tadi, harusnya kamu juga bijak dong untuk hal ini..hahaha.." sindir si Rahmat.

Baru nyadar Burhan bahwa dia terpancing dan emosi, tambah memerah wajahnya seperti kepiting direbus..

Teman-teman sekalian..

Terkadang kita bisa bersikap bijak dan terkesan menggurui orang lain, karena persoalan yang ada tidak berkaitan dengan kita, tidak menyentuh keberadaan kita, usaha kita dan seterusnya.

Coba kalau berkaitan langsung maupun tidak langsung,  kita akan diuji dalam meresponnya, baik atau buruk, tertantang bagaimana harus mengedepankan kesabaran kita.

Terus poinnya apa..

Pertama, pertemanan mereka tetap baik, konflik kecil dan perbedaan sering terjadi, tapi dihadapi dengan 
senyum dan ketawa, mereka merasa senasib sepenanggungan, tidak ada ketersinggungan.

Kedua, kalau masalah yang diangkat sudah tentang perut, apapun dan siapapun mudah terpancing, tapi yang terpenting endingnya harus tetap mengutamakan pertemanan dan persahabatan.

Berikutnya, setelah percakapan itu, kembali mereka tertawa bercanda, seakan tidak pernah terjadi percakapan yang sedikit "tegang" tadi.

Dan bagi penulis pribadi, bisa mengambil pelajaran dari kejadian ini, walaupun mungkin sederhana, karena setiap hal pasti ada sisi baik dan buruknya.

Belum ada Komentar untuk "Memancing Ikan Di Kolam Emosi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel